DAFTAR ISI
BAB
I PENDAHULUAN………………………………………..I
A. Kata
pengantar……………………………………….I.I
B. Rumusan
Masalah…………………………………...I.I.I
BAB
II PEMBAHASAN………………………………………….I.V
A. Latar
Belakang………………………………………...V
(a) Riwayat Hidup…………………………………..V.I
(b) Pendidikan
Islam menurut GUS DUR…………V.I.I
(c) Kekuasaan
dan Ekonomi Politik Indonesia……V.I.I.I
(d) Politik
lawan Budaya dalam Islam….…………..I.X
BAB
III PENUTUP………………………………………………….X
DAFTAR
PUSTAKA…………………………………………………XI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah
atas segala rahmat dan hidayahnya semoga kita senantiasa berada dijalannya yang
lurus dengan tetap berpegang teguh kepada ajaran-Nya. Sholawat dan salam semoga
tercurah limpahkan kepada Rasulullah sang pembawa pembawa risalah yang
paripurna.
Gus Dur adalah figur
yang fenomenal dan kontroversial yang seringkali mengeluarkan statemen yang membuat
banyak orang kebingungan dan bahkan kebakaran jenggot. Walaupun suaranya sering
mengundang kontroversi, tetapi suara itu tidak jarang menjadi kemudi arus
perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan.
Dia memang seorang
yangtak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan beliau juga tidak
gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika
dilihat ,kebenaran itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang
kontroversi. Pendapatnya seringkali terlihat tanpa interes politik pribadi atau
kelompoknya.
Beliau berani berdiri di
depan untuk kepentingan orang lain atau golongan lain yang diyakninya benar.
Bahkan sering seperti berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan
ketika beliau menjabat presiden, sepetinya jabatan itu tak mampu mengeremnya
untuk menyatakan sesuatu. Sepertinya, ia melupakan jabatan politis itu demi
sesuatu yang diyakininya benar. Sehingga saat belia menjabat presiden, banyak
orang menganggapnya aneh karena sering kali melontarkan pernyataan yang
mengundang kontroversi.
Gus Dur dikenal sebagai tokoh yang
selalu membela hak-hak kaum minoritas dan dekat dengan berbagai kelompok lintas
agama dan budaya. Kedekatanya dengan Israel membuatnya dituduh sebagai agen
Israel dan ulama yang menghancurkan Islam dari dalam. Beliau sangat anti
terhadap kekerasan apalagi kekerasan atas nama agama sehingga tak heran banyak
tokoh dan kelompok Islam radikal yang tidak suka padanya. Sikap Gus Dur yang
sering melawan arus mengundang tanda Tanya besar bagi setiap orang, apa
sebenarnya yang ada di benak Gus Dur?, apa sebenaranya misi tujuan GusDur.
Melalui makalah ini akan
diketahui pandangan dan pemikiran Gus Dur, sehingga semua pihak terhindar dari
prasangka dan fitnah terhadap Beliau. Makalah ini adalah kumpulan pemikiran Gus
Dur yang dikumpulkan dari berbagai sumber untuk menguak fenomena pemikiran Gus
Dur yang kontroversial.
Harapannya makalah ini menjadi
inspirasi bagi semua pihak untuk mengambil ide-ide brilian Gus Dur yang dapat kita
terima dan mengkaji lebih dalam pemikiran beliau yang tidak dapat dicerna.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak. Amiin
B.
Rumusan Masalah
1. Riwayat KH.
Abdurrahman Wahid?
2. Bagaimana
Pandangan KH. Abdurrahman Wahid tentang kekuasaan dan ekonomi di Indonesia?
3. Seperti apa
Pendidikan Islam Menurut KH. Abdurrahman Wahid?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar belakang
I.
Riwayat
hidup
Abdurrahman
Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur merupakan keturunan darah biru.
Darah biru bukan dalam arti kebangsawanan, melainkan bekal dari Allah Subhanahu
Wataala berupa kecerdasan luar biasa.Dia anak seorang tokoh besar umat Islam,
khususnya NU. Ayahnya, KH Wahid Hasyim, anak pendiri Nahdlatul Ulama,
organisasi Islam terbesar di Indonesia, bernama Hasyim Asy'ari.
Tidak jelas
kapan tepatnya tanggal kelahiran beliau, karena walaupun dia selalu berulang
tahun pada tanggal 4 Agustus, sebenarnya itu bukanlah hari kelahiran beliau
yang sesungguhnya, Gus Dur memang dilahirkan pada hari keempat bulan kedelapan,
akan tetapi perlu diketahui bahwa tanggal itu adalah menurut kalender islam
yakni tanggal 4 Sya’ban 1940 yang jika ditelusuri maka tanggal itu sebenarnya
adalah 7 september[1][1] . Dilahirkan
di Denanyar, dekat kota Jombang, Jawa Timur, dengan nama asli Abdurrahman
ad-Dakhil, nama yang diberikan oleh ayahnya yang diambil dari nama salah
seorang pahlawan dari dinasti Umayyah[2][2].Sulung dari
enam bersaudara.
Ibunya,
Hajjah Sholehah, juga keturunan tokoh besar NU, KH Bisri Syamsuri.Ayahnya
menjadi menteri agama pertama Indonesia. Dengan demikian, baik dari garis ayah
maupun ibu, Gus Dur merupakan sosok yang menempati strata sosial tinggi dalam
masyarakat Indonesia. Namun, sejarah kehidupannya tak mencerminkan kehidupan
seorang ningrat. Dia berproses dan hidup sebagaimana layaknya masyarakat
kebanyakan. Gus Dur kecil belajar di pesantren.
Panggilan Gus
merupakan tradisi di kalangan pesantren untuk menyebut atau memanggil anak
kiai. Di beberapa daerah Jawa Barat, sebutan Gus diganti Kang atau Ning.
Karena namanya Abdurrahman Wahid, dia lebih populer dipanggil Gus Dur.
Dia diajar
mengaji dan membaca Al Quran oleh kakeknya, Kiai Haji Hasyim sy'ari, di Pesantren
Tebuireng, Jombang, Jatim.Ia mendapat pendidikan disekolah dari ayahnya, tetapi
sebagaimana pelajar madrasah lainya, ia pertama-tama belajar membaca dan
menulis dalam tulisan Arab, Kiai Haji Wahid Hasyim lantas mengajarinya membaca
huruf latin serta bahasa yang merupakan alat percakapan orang Belanda dan orang
Indonesia yaitu bahasa Melayu lokal.
Kiai Haji
Wahid Hasyim yang juga merupakan ayah
Gus Dur adalah seorang nasionalis terkemuka, beliau banyak berjuang untuk
kemerdekaan bahkan untuk kebangkitan bangsa Indonesia, ini terbukti dari
keterlibatan beliau dalam berbagai organisasi seperti MIAI (Majlis Islam
A’la Indonesia), kemudian beliau juga turut andil besar dalam proses pembentukan Hizbullah
yang merupakan sayap militer MIAI.
Pada tahun
1944, berdasarkan kesepakatan dengan sang ayah, Kiai Haji Wahid Hasyim bersama
keluarga pindah ke Jakarta untuk menjadi kuasa beliau mengurusi Shumubu yang pada akhirnya nanti
berganti nama menjadi Masyumi.
Tinggal di daerah menteng menjadikan Gus Dur kecil banyak bertemu dengan
tokoh-tokoh besar dari berbagai
kalangan, sebut saja Tan Malaka, pemimpin komunis yang terkenal itu.
Pada saat
Jepang menyerah, tahun 1945, Gus Dur dan keluarga pindah ke Jombang, namun
tidak lama setelah itu, tepatnya tahun 1949, keluarga ini harus kembali lagi ke
Jakarta, karena sang ayah, Kiai Haji Wahid Hasyim terlibat kegiatan
pemerintahan.
Pendidikanya
dimulai dari Sekolah Dasar KRIS di Jakarta pusat, tapi setelah memasuki kelas
empat dia pindah sekolah yang berada didekat rumah tinggalnya, yang
kedua-duanya adalah sekolah biasa untuk ukuran seorang putra menteri. Pada
tahap ini pendidikan Gus Dur sepenuhnya bersifat sekuler, namun tentunya dia
sudah pernah belajar bahasa Arab dan membaca Al Qur’an ketika masih kecil.
Dirumahnya, terdapat perpustakaan pribadi yang besar dan terdapat beberapa
surat kabar, bahkan ada beberapa diantaranya merupakan terbitan orang katholik
atau orang non muslim lainya.
Dari sini,
Gus Dur kecil kaya akan khasanah pengetahuan dan luas akan cakrawala
berpikirnya, dan ini adalah cita-cita dari sang ayah.
Ayahnya
meninggal dalam sebuah kecelakaan, tahun 1953, ketika dia berumur 12 tahun.
Setahun kemudian dia lulus sekolah dasar untuk kemudian melanjutkan ke Sekolah
Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), karena perasaan sedih saat ditinggal sang ayah
masih terasa, ia sempat mengulang pada saat kelas satu, namun sebenarnya dia
pandai, namun pada saat yang sama dia cenderung malas-malasan. Waktunya dihabiskan
untuk mambaca buku dan menonton sepak bola, karena dirasa pelajaran di sekolah
kurang menantang.
Setelah
menamatkan di SMEP, tahun 1957, Gus Dur mengikuti pelajaran pesantren penuh di
pesantren Tegalrejo, Magelang yang terletak di sebelah utara kota Yogyakarta
yang diasuh Kiai Khudori. Pada saat yang sama dia juga belajar paro waktu di
pesantren Denanyar Jombang yang di asuh oleh kakeknya sendiri, Kiai Bisri
Syamsuri. Gus Dur hanya butuh waktu dua tahun untuk menyelesaikan pelajaranya,
dua tahun lebih cepat dari yang semestinya, bahkan sebagian besar waktunya
dihabiskan diluar kelas untuk membaca buku-buku Barat.
Ketika
tinggal di Yogyakarta, dia mulai menyukai film secara serius. Meski demikian,
sebagai seorang remaja yang sangat menggandrungi film, apresiasi Gus dur
terhadap film jauh lebih serius daripada yang ditunjukkan oleh teman sebayanya.
Di Yogyakarta Gus Dur juga mulai menyukai wayang kulit yang merupakan
pertunjukan wayang tradisional. Di kota inilah dia juga banyak menghabiskan
waktu untuk membaca karya sastra, termasuk cerita-cerita silat yang
menceritakan pendekar-pendekar silat Cina yang kaya akan falsafah itu.
Pada tahun
1959, Gus Dur pindah ke Jombang untuk belajar secara penuh di pesatren Tambak
beras di bawah asuhan Kiai Wahab Chasbullah. Ia belajar sampai tahun1963, pada
saat bersamaan dia selalu menjalin komunikasi dengan Kiai Bisri Syamsuri. Pada
tahun yang sama, dia melanjutkan studinya ke Universitas Al Azhar Kairo, Mesir
karena mendapatkan beasiswa dari Departemen Agama. Saat itu usianya 23 tahun.
Di sana ia menimba ilmu dengan mengambil spesialisasi bidang syariah yang
dilaluinya selama tujuh tahun.
Namun karena terlalu aktif berorganisasi, ia tidak berhasil menyelesaikan
kuliah. Dari Kairo ia pindah ke Baghdad, Irak, dengan mengambil spesialisasi
sastra dan ilmu humoris. Di sinilah Gus Dur berkenalan dengan pemikiran
tokoh-tokoh seperti Emile Durkheim.
II. Pendidikan Islam menurut KH. Abdurrahman Wahid
Dalam
masyarakat ditemukan berbagai
individu atau kelompok
yang berasal dari budaya
berbeda, demikian pula
dalam pendidikan, diversitas tersebut
tidak bisa dielakkan. Diversitas
budaya itu bisa
ditemukan di kalangan
peserta didik maupun
para guru yang terlibat secara langsung
atau tidak- dalam
satu proses pendidikan.
Diversitas itu juga bisa
ditemukan melalui pengkayaan
budaya-budaya lain yang ada dan berkembang dalam
konstelasi budaya, lokal,
nasional dan global. Diversitas budaya
ini akan mungkin tercapai
dalam pendidikan jika
pendidikan itu sendiri
mengakui keragaman yang ada,
bersikap terbuka (openess)
dan memberi ruang
kepada setiap perbedaan yang ada untuk terlibat dalam satu proses
pendidikan.
Dalam pelaksanaannya, Banks
menjelaskan lima dimensi
yang harus ada
yaitu, pertama, adanya
integrasi pendidikan dalam kurikulum (content integration) yang didalamnya melibatkan keragaman dalam satu kultur pendidikan yang
tujuan utamanya adalah menghapus
prasangka. Kedua,
konstruksi ilmu pengetahuan
(knowledge construction)
yang diwujudkan dengan
mengetahui dan memahami secara komperhensif
keragaman yang ada. Ketiga, pengurangan
prasangka (prejudice reduction)
yang lahir dari interaksi antar keragaman dalam
kultur pendidikan. Keempat,
pedagogik kesetaraan manusia (equity
pedagogy) yang memberi ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap
elemen yang beragam. Kelima, pemberdayaan
kebudayaan sekolah (empowering school
culture). Hal yang kelima ini adalah
tujuan dari pendidikan
multikultur yaitu agar
sekolah menjadi elemen
pengentas sosial (transformasi sosial)
dari struktur masyarakat yang timpang kepada struktur yang berkeadilan[3][3].
Dalam sebuah
dialog tentang pendidikan Islam, berlangsung di Beirut (Lebanon) tanggal 13-14
Desember 2002 yang diselenggarakan oleh Konrad Adenauer Stiftung,
ternyata disepakati adanya berbagai corak pendidikan agama, hal ini juga
berlaku untuk pendidikan Islam. Walaupun ada beberapa orang yang terus terang
mengakui, maupun yang menganggap pendidikan Islam yang benar haruslah
mengajarkan ajaran formal tentang Islam. Diskusi tentang mewujudkan pendidikan
Islam yang benar memang terjadi, tapi tidak ada seorang peserta-pun yang
menafikan dan mengingkari peranan berbagai corak pendidikan Islam yang telah
ada.[4][4].
Penyelenggaraan pendidikan Islam
di negeri manapun, tidak hanya di sampaikan dalam ajaran-ajaran formal Islam di
sekolah-sekolah agama/madrasah belaka, melainkan juga melalui sekolah-sekolah
non-agama yang bergerak diseluruh penjuru dunia. Demikian juga, semangat menjalankan
ajaran Islam, datangnya lebih banyak dari komunikasi di luar sekolah,
antara berbagai komponen masyarakat Islam.
Hal lain yang harus diterima sebagai
kenyataan hidup kaum muslimin di mana-mana, adalah respon umat Islam terhadap tantangan
modernisasi, seperti pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup
dan sebagainya, adalah respon yang tak kalah bermanfaatnya bagi pendidikan
Islam, yang perlu kita renungkan secara mendalam.
Pendidikan Islam, tentu saja
harus sanggup meluruskan responsi terhadap tantangan modernisasi itu,
namun kesadaran kepada hal itu justru belum ada dalam pendidikan Islam di
mana-mana. Hal inilah yang merisaukan hati Gus Dur, karena ujungnya adalah diperlukan jawaban
yang benar atas pernyataan berikut: Bagaimanakah caranya membuat kesadaran
struktural sebagai bagian natural dari perkembangan pendidikan Islam?
Dengan ungkapan lain, kita harus menyimak perkembangan pendidikan Islam di
berbagai tempat, dan membuat peta yang jelas tentang konfigurasi pendidikan
Islam itu sendiri. Ini merupakan pekerjaan rumah, yang mau tak mau harus
ditangani dengan baik.
Jelas dari uraian diatas, pendidikan
Islam memiliki begitu banyak model pengajaran baik yang berupa pendidikan
sekolah, maupun pendidikan non-formal seperti pengajian, arisan dan
sebagainya. Ketidakmampuan memahami kenyataan keberagaman ini, yaitu hanya melihat lembaga pendidikan formal
seperti sekolah dan madrasah di tanah air sebagai sebuah institusi pendidikan
Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan kita tentang pendidikan Islam itu
sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan satu sisi belaka dari pendidikan
Islam, dan melupakan sisi non-formal dari pendidikan Islam itu sendiri. Tentu
saja menjadi berat tugas para perencana pendidikan Islam, kenyataan ini
menunjukkan di sinilah terletak lokasi perjuangan pendidikan Islam.
Senada,dengan apa yang
disampaikan oleh Gus Dur, banyak pemikir yang menyampaikan hal yang sama,
diantaranya adalah Kamrani Buseri, menurutnya, pada dasarnya pendidikan Islam adalah upaya
untuk mencapai kemajuan perkembangan bagi individu peserta didik. Dalam
Islam yang disebut kemajuan itu adalah mencakup kemajuan fisik material dan
kemajuan mental spritual yang keduanya ditujukan untuk mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat”[5][5].
Oleh karena itu. pendidikan
Islam harus menghasilkan manusia yang beriman, berpengetahuan dan
berketerampilan dengan senantiasa memodifikasi diri agar sesuai dan sejalan
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hanya pendidikan yang mengemban tugas ganda secara
proporsional yang mampu mewujudkan kejayaan peradaban secara hakiki. Keimanan
menjadi kendali bagi moral seseorang dalam aktivitas pemanfaatan pengetahuan
dan keterampilannya, sehingga dapat meredam keinginan-keinginan jahat.
sebaliknya ia selalu mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan atau
perbuatan-perbuatan bermanfaat.
Menurut Gus Dur, sistem pendidikan nasional harus diubah dengan
pendidikan berbasis masyarakat. Sebab sistem pendidikan kita sekarang hanya
formal. Orang tidak punya ijazah tidak dipakai, padahal banyak warga masyarakat
yang tidak berijazah tapi memiliki kemampuan. Termasuk pendidikan pesantren
yang sudah sekian tahun mengaji tapi tidak pernah dihargai, paparnya.[6][6].
Bukti sejarah mengatakan, di tengah
pergolakan perjuangan bangsa, pesantren tetap memperlihatkan keberadaannya
sebagai lembaga pendidikan yang mempersiapkan kader-kader bangsa dalam
menyokong pergerakan kemerdekaan. Motor gerakan PKI di tahun 1965-1966, salah
satunya adalah komponen pesantren. Kemudian, sejak 1970-an kita melihat
perubahan konfigurasi kelas menengah di Indonesia, salah satu pendorong
utamanya adalah kelompok santri. Sehingga sampai saat ini, di pentas nasional,
kita mengenal Gus Dur, Nurcholish Madjid, Hidayat Nurwahid, Din Syamsuddin,
Hasyim Muzadi, Emha Ainun Najib, Ali Yafie, Quraish Shihab dan banyak lagi
tokoh lain yang merupakan lulusan dari pendidikan pesantren. Alumni
pesantren yang disebutkan di atas telah menjadi pelopor bukan saja di bidang
keagamaan, tetapi juga menjadi bahagian dari pembangunan bangsa di berbagai
bidang[7][7].
Gus Dur melihat pondok pesantren
dari berbagai sudut. Pondok pesantren sebagai lembaga kultural yang
menggunakan simbol-simbol budaya jawa; sebagai agen pembaharuan
yang memeperkenalkan gagasan pembangunan pedesaan (rural development);
sebagai pusat kegiatan belajar masyarakat (centre of community
learning); dan juga pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang
bersandar pada silabi, yang dibawakan oleh Imam Al- Suyuti lebih dari
500 tahun-nan yang lalu, dalam Itman al-dirayah. Silabi inilah yang
menjadi dasar acuan pondok pesantren tradisional selama ini, dengan
pengembangan kajian Islam yang terbagi dalam 14 macam disiplin ilmu yang
kita kenal sekarang ini, dari nahwu/ tata bahasa arab klasik hingga tafsir
al-Qur’an dan teks hadist nabi, semuanya dipelajari dalam lingkungan pondok
pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam. Melalui pondok pesantren
juga nilai ke-Islam-an ditularkan dari generasi ke generasi.
Sudah tentu, cara penularan
seperti itu merupakan titik sambung pengetahuan tentang Islam secara rinci,
dari generasi ke generasi. Di satu sisi, ajaran-ajaran formal Islam
dipertahankan sebagai sebuah keharusan yang diterima kaum muslimin
diberbagai penjuru dunia. Tetapi, disini juga terdapat benih-benih perubahan,
yang membedakan antara kaum muslimin di sebuah kawasan dengan kaum muslimin
lainnya dari kawasan yang lain pula. Tentang perbedaan antara kaum muslimin di
suatu kawasan ini, Gus Dur pernah mengajukan sebuah makalah kepada Universitas
PBB di Tokyo pada tahun 1980-an. Tentang perlu adanya study kawasan
tentang Islam di lingkungan Afrika Hitam, budaya Afrika Utara dan negeri-negeri
Arab, budaya Turki-Persia-Afghan, budaya Islam di Asia Selatan, budaya Islam di
Asia Tenggara dan budaya minoritas
muslim di kawasan-kawasan industri maju. Sudah tentu, kajian kawasan (area
study's) ini diteliti bersamaan dengan kajian Islam klasik (classiccal
Islamic study’s)[8][8].
III. Kekuasaan dan Ekonomi
Politik Indonesia
Sejak
Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 kita sudah berada dalam alam kemerdekaan.
Tapi kemerdekaan yang dicapai baru hanya di bidang politik. Hal itu terlihat
pada kekuasaan negara yang berhasil kita pegang. Bung Karno dengan Pancasilanya
berhasil merebut kekuasaan pemerintahan. Ia dan kawan-kawannya, seperti Bung Hatta, Mr. Sartono, dr.
Radjiman, dr. Tjipto Mangunkusumo dan seterusnya, pada umumnya adalah para
bangsawan dari berbagai tingkatan yang berhasil merebut kekuasaan negara dari
tangan penjajah. Jika pada saat itu ada tokoh politik yang mengajukan gagasan
kredit murah untuk kepentingan usaha kecil dan menengah, tentu pembawa usul itu
akan ditertawakan orang. Dalam pikiran mereka, dunia ekonomi hanya akan mengalami kemajuan jika
dikuasai oleh teman-teman mereka sendiri, para pengusaha dari kalangan atas.
Inilah yang mereka anggap sebagai kekuatan ekonomi nasional.
Mungkin
dalam lingkup ini termasuk ayah penulis sendiri, yaitu dari kalangan petani bertanah (land
owners). Kenyataan ini
berjalan terus sampai demokrasi terpimpin digantikan oleh Orde Baru yang dibawa oleh Mayor Jendral TNI
Soeharto. Secara efektif Orde Baru meneruskan orientasi pembangunan nasional yang hanya mementingkan
kalangan atas saja. Demikian pula dengan apa yang dinamakan masa Reformasi pada tahun 1998, yang dianggap
membawa perubahan cukup
besar.
Namun
tetap saja orientasi pembangunan kita, yang masih ditentukan oleh kepentingan kalangan atas, itu baru mengacu pada
pertumbuhan (growth). Pembangunan ekonomi kita lalu menuju kepada penjualan
barang (ekspor) secara besar-besaran. Karena itulah pemerintah memberikan
kompensasi dalam bentuk impor barang secara besar-besaran pula. Dengan demikian, jumlah barang yang
diimpor harus
dibiaya oleh kredit luar negeri yang besar pula sehingga hutang nasional kita
terus menerus
ditambah. Ini membuat ketergantungan kita kepada negara-negara lain membengkak. Orde Baru digantikan oleh apa yang
dinamakan Orde Reformasi, yang segera saja direbut oleh para teknokrat. Sebenarnya, mereka tidak
lain adalah kaum profesional yang menganut faham pertumbuhan ekonomi di atas. Tercapailah pertumbuhan
besar-besaran bagi negeri kita, yang tidak berumur lama. Segera saja
perekonomian nasional kita dihadapkan kepada krisis berkepanjangan yang belum
selesai hingga saat ini. Salah satu penyebabnya, karena tidak ada perubahan
berarti dalam pandangan para pimpinan parpol dalam pembangunan nasional dan
kepemimpinan negara . Tidak ada seorangpun yang berpikir tentang bagaimana
menyelesaikan krisis eknomi yang berkepanjangan itu, dengan segenap konsekuensinya. Padahal, kita harus mempunyai arah
yang jelas dalam orientasi
pembangunan kita. Kenyataan memaksa kita untuk mengikutnya sampai jarak tertentu. Juga sulit untuk memperhitungkan akibat-akibat
yang ditimbulkan oleh globalisasi ekonomi dunia, yang dipimpin oleh Amerika
Serikat. Walaupun prinsip pembangunan ekonomi nasional kita, mengharuskan
adanya kemerdekaan kebebasan berniaga dalam bentuk persaingan bebas (free
competition). Karena itu, kita harus memberikanMengenal Lebih Dekat Pemikiran
Gus Dur 29
kemerdekaan
untuk bersaing secara bebas bagi perusahaan-perusahaan asing di negeri kita. Tetapi, disamping itu harus
diingat bahwa sisi lain dari dunia usaha kita justru menginginkan adanya
perlindungan pemerintah atas usaha kecil dan menengah. Tentu saja, hal itu terkait dengan pasal
33 UUD 1945 yang menyebutkan perlu diberikan perhatian khusus untuk pemenuhan
kebutuhan pokok dari rakyat. Hal ini pernah dialami Andrew Jackson, yang menjadi Presiden AS pada
tahun-tahun1830-an. Dalam kebijakan Jackson, UUD A.S menetapkan bahwa RAPBN
(budget) mengharuskan seorang presiden untuk membiayai pendidikan, kerja-kerja
sosial, kesehatan
dan hal-hal sejenis untuk rakyat. Oleh sebab itulah, dia mengangkat seorang gubernur bagi American Federal
Reserve System (yang di negeri kita dikenal dengan nama Bank Sentral alias Bank
Indonesia).
Dengan
pengangkatan itu, Jackson tidak menyalahi liberalisme ekonomi yang mengharuskan adanya persaingan bebas
dalam pengaturan ekonomi. Pelajaran inilah yang sangat penting untuk kita
perhatikan dengan serius. Namun dalam menyelenggarakan perekonomian nasional
ini, di samping perlunya kemakmuran negara kita sendiri, kita juga harus maju
bersama dengan negara-negara dunia berkembang (developing countries) lainnya.
Sewaktu menjabat sebagai presiden, Gus Dur didatangi utusan Presiden Bill Clinton, yaitu Winston Lord, Pembantu Menlu
AS urusan Asia dan
Pacific .
Ia
bertanya kepada Gus Dur adakah
kerjasama ekonomi yang diusulkan dengan membentuk Poros Indonesia- Republik
Rakyat Tiongkok dan India, dimaksudkan untuk mengeliminir Amerika Serikat
sebagai kekuatan ekonomi? Gus Dur menjawab
tidak, melainkan untuk mengembangkan kemampuan ketiga negeri tersebut untuk bersaing dengan A.S. Dua hari
kemudian Gedung Putih mengeluarkan pernyataan, bahwa A.S mendukung gagasan
kerja sama ekonomi itu. Jadi agar segala sesuatu menjadi terbuka bagi semua
pihak, perlu ada kejelasan dari kita sendiri. Jelaslah, dari apa yang
disebutkan di atas bahwa dalam pemikiran Gus Dur, hubungan antara
ekonomi politik dan kekuasaan sangatlah besar. Nah, kesalahan kita selama ini adalah tidak jelasnya
orientasi pembangunan ekonomi nasional kita sendiri. Seharusnya, kita juga
menggunakan orientasi kehidupan yang dibawakan oleh agama, yaitu pentingnya
akhlak mulia dan keadilan dalam kehidupan kita. Masalah yang sederhana tetapi juga sangat
rumit, bukan?
IV. Politik lawan budaya
dalam Islam
Islam di banyak negri menampilkan wajah politik
lebih banyak dari pada wajah budayanya. Karena itu, penampilan Islam sebagai wadah kajian
senantiasa berurusan dengan negara dan bukannya dengan bangsa. Ini adalah kenyataan sejarah yang
tidak dapat dibantah oleh siapapun. Bahkan gerakan budaya (dalam hal ini
pendidikan) yang bernama al-Ikhwan al-Muslimun, sebelum Perang Dunia ke-2 di
Mesir yang dicetuskan oleh Hassan al-Banna (dihukum gantung karena gerakan itu), dicuri orang dan pada ujungnya
menjadi gerakan politik, adalah sebuah bukti dari kuatnya kecendrungan tersebut.
Dewasa ini gerakan tersebut sudah resmi menjadi gerakan politik, seperti
terjadi diJordania dan Saudi Arabia. Gamal al-Banna, adik terkecil dari Hasan
mencoba membuktikan melalui serangkaian tulisan, bahwa organisasi tersebut
adalah organisasi budaya. Tetapi sejauh ini, Gamal belum dapat menghilangkan
gambaran bahwa perkumpulan tersebut sebagai sesuatu yang politis. Sebenarnya,
pandangan mayoritas kaum muslimin di seluruh dunia justru tidak menghendaki
gagasan Islam politik. Kebanyakan mereka melihat Islam sebagai sesuatu yang
bersifat budaya/kultural.
Wacana ini dibuka oleh Nahdlatul Ulama (NU)
yang didirikan tahun 1926. Pada tahun 1936 dalam muktamarnya di Banjarmasin
(BorneoSelatan) dengan dihadiri sekitar enam ribu ulama, NU membuat dua
keputusan yang sangat penting bagi masa depan Bangsa Indonesia. Para ulama NU
dihadapkan pada pertanyaan: “wajibkah kaum muslimin di Hindia Belanda,
mempertahankan kawasan tersebut yang dikuasai non-muslim?” Jawaban muktamar itu adalah: “kawasan itu
wajib dipertahankan.” Ini diperkuat dengan refrensi dari Bughyah
al-Mustarsyidin. Pertanyaan berikut adalah: “untuk melaksanakan syariat
Islam, wajibkah didirikan sebuah Negara Islam?” Keputusan muktamar itu
menyatakan: “tidak wajib.”Kedua pendapat di atas sangat dipengaruhi
kemunculannya oleh dua orang yang masih terikat dalam hubungan persaudaraan,
yaitu H.O.S Tjokroaminoto dari kota Surabaya dan KH. M. Hasyim Asyari. Mereka masih bersaudara,
walaupun yang satu tokoh Syarikat Islam (belakangan berkembang menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia/
PSII), sedangkan yang satunya lagi adalah salah seorang pendiri NU.
Bahkan
ia kemudian diangkat menjadi Rais Akbar NU dengan temannya sesama santri KH. A.
Mahfudz Dimyati dari Termas (Pacitan) dan Wakil Rais Akbar KH. Faqih
Maskumambang dari daerah Dukun (Gresik). Kegigihan KH. M. Hasyim Asyari adalah
membuat terobosan dalam pemikiran kalangan
tradisional di antara gerakan Islam yang berkembang dikawasan Hindia-Belanda. H.O.S. Cokroaminoto dan
KH. Hasyim Asyari masih merupakan keluarga, karena keduanya berasal dari
keluarga keturunan Ki Ageng Basariah dari Sewulan ( +10 km selatan Madiun). Di lingkungan inilah lahir beberapa
orang pemimpin gerakan Islam dinegeri kita, seperti KH. A. Kahar Mudzakir dari
Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
KH. Wahid Hasjim dari NU di PP Tebu Ireng Jombang, Alm. KH. A. Wahab
Chasbullah dan Abdul Munir Mulkan dari kalangan Muhammadiyah dewasa ini, dan
lain-lain. Pada intinya, mereka selalu menyuarakan gerakan Islam sebagai
gerakan budaya/ kultural.Inilah yang membedakan mayoritas kaum muslimin di
Indonesia, dari gerakan Islam dinegeri-negeri lain. Tokoh-tokoh besar
gerakan Islam di Indonesia masa lampau pun mengikuti pola budaya ini.
Oleh sebab itu suara yang dibawakan NU lalu menjadi sesuatu yang sangat
longgar penerapannya, karena selama ini banyak kalangan gerakan Islam dibanyak
negara seluruh dunia berwatak politis. Ditambah lagi mereka memiliki/menguasai
media Islam, dengan sendirinya pendapat mereka yang bersifat politis yang dianggap
mewakili pandangan Islam di negeri ini. Dengan demikian wacana gerakan Islam
lebih banyak terlihat sebagai wacana politis. Pendapat NU lalu diperlakukan sebagai pandangan
kelompok minoritas. Ini terjadi karena misspersepsi/ pandangan yang dangkal
sejumlah pengamat bahwa mayoritas gerakan Islam di Indonesia bersifat politis.
Penyatuan antara negara dan Islam sebagai agama justru berkembang dari luar
gerakan Islam negeri kita. Karena itulah kita tidak usah heran menyaksikan
ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, merumuskan syariat Islam dalam
kehidupan bernegara, seperti tertuang dalam Piagam Jakarta.
Baru setelah seorang beragama Kristen, yaitu A.A. Maramis dari Sulawesi
Utara menyuarakan keberatannya, lalu Muh. Hatta keesokan harinya memimpin siding
perwakilan berbagai gerakan Islam (Ki Bagus Hadikusuma dan KH. A. Kahar
Mudzakirdari Muhammadiyah, A. Rahman Baswedan dari Partai Arab Indonesia,
AbikusnoTjokrosuyoso dari PSII, Ahmad Subarjo, KH. A. Wahid Hasjim dari NU dan
H. Agus Salim sebagai tokoh independen) membuang tujuh kata dalam Piagam
Jakarta tersebut. Hampir seluruh dunia memandang gerakan Islam bersifat politik sebagai
gerakan fundamentalis/radikal. Pandangan itu lalu menganggap pandangan budaya
dari NUsebagai moderat.
Penamaan serampangan seperti inilah yang lalu menciptakan kesan salah tentang gerakan Islam di
seluruh dunia. Padahal kita juga melihat berbagai gerakan Islam seperti al-Qaidah yang
dipimpin oleh Osama Bin Laden dari Afghanistan (bukankah lebih tepat Saudi Arabia?) dengan
rasa was-was karena militasinya yang sangat tinggi. Juga lahirnya pendapat berbagai gerakan Islam, seperti
Hizbut Tahrir dinegeri kita, akan perlunya sistem pemerintahan berupa
kekhalifahan, yang jelas-jelas merupakan pandangan politik yang bertentangan dengan UUD kita. Sulit
rasanya untuk membenarkan
gerakan-gerakan tersebut.
Tetapi misteri seperti inilah yang membuat buku yang ada di tangan pembaca
ini, menjadi sesuatu
yang menarik dan perlu ada. Jika beberapa waktu yang lalu Majalah Tempo bermotto “enak dibaca dan
perlu”, bukankah pembahasan tentang perlunya Islam budaya dan Islam politik
kita lakukan, juga demikian?
BAB III
PENUTUP
Demikian makalah ini kami buat
untuk tugas mata kuliah Pemikiran Pendidikan Islam, kurang dan lebihnya kami
mohon maaf sebesar-besarnya karena kami
hanya manusia biasa yang tidak luput dari salah dan khilaf, saran dari pembaca
dan pendegar kami tunggu untuk memjadikan makalah ini jadi lebih baik dan
sempurna dari yang sesudahnya.
Cukup sekian dari kami,
waullahuafiq illa aqwamitoriq ws.wb…
TTD
Penyusun Makalah
DAFTAR PUSTAKA
1.
Abdurrahman
Wahid, Menggerakkan Tradisi, LkiS, Yogyakarta, 2007. h. 181-182
2.
Wahjoetomo,
Perguruan Tinggi Pesantren pendidikan Alternatif Masa Depan, Gema Insani Press,
Jakarta, 1997. h. 87
3.
Greg
Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid,
Yogyakarta, LkiS, 2006, h. 25
4.
James
A. Banks. “Multicultural Education:
Historical Development, Dimensions,
and
Practice” dalam James A. Banks dan Cherry A. McGee, San Francisco: Jossey-Bass,
2001. hlm. 3 -24
5.
Abdurrahman
Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The
Wahid Institute, Jakarta, 2006, h.223
[1][1] Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of
Abdurrahman Wahid, Yogyakarta, LkiS, 2006, h. 25
[3][3] James A. Banks.
“Multicultural Education: Historical
Development, Dimensions, and Practice” dalam James A. Banks dan Cherry A. McGee, San
Francisco: Jossey-Bass, 2001. hlm. 3 -24
[4][4] Abdurrahman Wahid, Islamku
Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The Wahid Institute,
Jakarta, 2006, h.223
[8][8] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat
Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006, h.224
Bagus
BalasHapus