Sabtu, 21 September 2013

makalah gusdur


DAFTAR ISI



BAB I        PENDAHULUAN………………………………………..I

A.    Kata pengantar……………………………………….I.I

B.     Rumusan Masalah…………………………………...I.I.I



BAB II      PEMBAHASAN………………………………………….I.V
                  
A.    Latar Belakang………………………………………...V

(a)   Riwayat  Hidup…………………………………..V.I

(b)   Pendidikan Islam menurut GUS DUR…………V.I.I

(c)    Kekuasaan dan Ekonomi Politik Indonesia……V.I.I.I

(d)   Politik lawan Budaya dalam Islam….…………..I.X


BAB III    PENUTUP………………………………………………….X



DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………XI



















BAB I
PENDAHULUAN
A.    Kata Pengantar
                      Segala puji bagi Allah atas segala rahmat dan hidayahnya semoga kita senantiasa berada dijalannya yang lurus dengan tetap berpegang teguh kepada ajaran-Nya. Sholawat dan salam semoga tercurah limpahkan kepada Rasulullah sang pembawa pembawa risalah yang paripurna.

Gus Dur adalah figur yang fenomenal dan kontroversial yang seringkali mengeluarkan statemen yang membuat banyak orang kebingungan dan bahkan kebakaran jenggot. Walaupun suaranya sering mengundang kontroversi, tetapi suara itu tidak jarang menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan.
         
Dia memang seorang yangtak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan beliau juga tidak gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika dilihat ,kebenaran itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang kontroversi. Pendapatnya seringkali terlihat tanpa interes politik pribadi atau kelompoknya.

Beliau berani berdiri di depan untuk kepentingan orang lain atau golongan lain yang diyakninya benar. Bahkan sering seperti berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan ketika beliau menjabat presiden, sepetinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan sesuatu. Sepertinya, ia melupakan jabatan politis itu demi sesuatu yang diyakininya benar. Sehingga saat belia menjabat presiden, banyak orang menganggapnya aneh karena sering kali melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi.

        Gus Dur dikenal sebagai tokoh yang selalu membela hak-hak kaum minoritas dan dekat dengan berbagai kelompok lintas agama dan budaya. Kedekatanya dengan Israel membuatnya dituduh sebagai agen Israel dan ulama yang menghancurkan Islam dari dalam. Beliau sangat anti terhadap kekerasan apalagi kekerasan atas nama agama sehingga tak heran banyak tokoh dan kelompok Islam radikal yang tidak suka padanya. Sikap Gus Dur yang sering melawan arus mengundang tanda Tanya besar bagi setiap orang, apa sebenarnya yang ada di benak Gus Dur?, apa sebenaranya misi tujuan GusDur.

Melalui makalah ini akan diketahui pandangan dan pemikiran Gus Dur, sehingga semua pihak terhindar dari prasangka dan fitnah terhadap Beliau. Makalah ini adalah kumpulan pemikiran Gus Dur yang dikumpulkan dari berbagai sumber untuk menguak fenomena pemikiran Gus Dur yang kontroversial.

Harapannya makalah ini menjadi inspirasi bagi semua pihak untuk mengambil ide-ide brilian Gus Dur yang dapat kita terima dan mengkaji lebih dalam pemikiran beliau yang tidak dapat dicerna. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak. Amiin


B.     Rumusan Masalah

1.      Riwayat KH. Abdurrahman Wahid?
2.      Bagaimana Pandangan KH. Abdurrahman Wahid tentang kekuasaan dan ekonomi di Indonesia?
3.      Seperti apa Pendidikan Islam Menurut KH. Abdurrahman Wahid?











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Latar belakang

I.       Riwayat hidup
Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur merupakan keturunan darah biru. Darah biru bukan dalam arti kebangsawanan, melainkan bekal dari Allah Subhanahu Wataala berupa kecerdasan luar biasa.Dia anak seorang tokoh besar umat Islam, khususnya NU. Ayahnya, KH Wahid Hasyim, anak pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia, bernama Hasyim Asy'ari.
Tidak jelas kapan tepatnya tanggal kelahiran beliau, karena walaupun dia selalu berulang tahun pada tanggal 4 Agustus, sebenarnya itu bukanlah hari kelahiran beliau yang sesungguhnya, Gus Dur memang dilahirkan pada hari keempat bulan kedelapan, akan tetapi perlu diketahui bahwa tanggal itu adalah menurut kalender islam yakni tanggal 4 Sya’ban 1940 yang jika ditelusuri maka tanggal itu sebenarnya adalah 7 september[1][1] . Dilahirkan di Denanyar, dekat kota Jombang, Jawa Timur, dengan nama asli Abdurrahman ad-Dakhil, nama yang diberikan oleh ayahnya yang diambil dari nama salah seorang pahlawan dari dinasti Umayyah[2][2].Sulung dari enam bersaudara.
Ibunya, Hajjah Sholehah, juga keturunan tokoh besar NU, KH Bisri Syamsuri.Ayahnya menjadi menteri agama pertama Indonesia. Dengan demikian, baik dari garis ayah maupun ibu, Gus Dur merupakan sosok yang menempati strata sosial tinggi dalam masyarakat Indonesia. Namun, sejarah kehidupannya tak mencerminkan kehidupan seorang ningrat. Dia berproses dan hidup sebagaimana layaknya masyarakat kebanyakan. Gus Dur kecil belajar di pesantren.
Panggilan Gus merupakan tradisi di kalangan pesantren untuk menyebut atau memanggil anak kiai. Di beberapa daerah Jawa Barat, sebutan Gus diganti Kang atau Ning. Karena namanya Abdurrahman Wahid, dia lebih populer dipanggil Gus Dur.
Dia diajar mengaji dan membaca Al Quran oleh kakeknya, Kiai Haji Hasyim sy'ari, di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jatim.Ia mendapat pendidikan disekolah dari ayahnya, tetapi sebagaimana pelajar madrasah lainya, ia pertama-tama belajar membaca dan menulis dalam tulisan Arab, Kiai Haji Wahid Hasyim lantas mengajarinya membaca huruf latin serta bahasa yang merupakan alat percakapan orang Belanda dan orang Indonesia yaitu bahasa Melayu lokal.
Kiai Haji Wahid Hasyim  yang juga merupakan ayah Gus Dur adalah seorang nasionalis terkemuka, beliau banyak berjuang untuk kemerdekaan bahkan untuk kebangkitan bangsa Indonesia, ini terbukti dari keterlibatan beliau dalam berbagai organisasi seperti MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia), kemudian beliau juga turut andil besar dalam proses pembentukan Hizbullah yang merupakan sayap militer MIAI.
Pada tahun 1944, berdasarkan kesepakatan dengan sang ayah, Kiai Haji Wahid Hasyim bersama keluarga pindah ke Jakarta untuk menjadi kuasa beliau mengurusi Shumubu yang pada akhirnya nanti berganti nama menjadi Masyumi. Tinggal di daerah menteng menjadikan Gus Dur kecil banyak bertemu dengan tokoh-tokoh besar dari  berbagai kalangan, sebut saja Tan Malaka, pemimpin komunis yang terkenal itu. 
Pada saat Jepang menyerah, tahun 1945, Gus Dur dan keluarga pindah ke Jombang, namun tidak lama setelah itu, tepatnya tahun 1949, keluarga ini harus kembali lagi ke Jakarta, karena sang ayah, Kiai Haji Wahid Hasyim terlibat kegiatan pemerintahan. 
Pendidikanya dimulai dari Sekolah Dasar KRIS di Jakarta pusat, tapi setelah memasuki kelas empat dia pindah sekolah yang berada didekat rumah tinggalnya, yang kedua-duanya adalah sekolah biasa untuk ukuran seorang putra menteri. Pada tahap ini pendidikan Gus Dur sepenuhnya bersifat sekuler, namun tentunya dia sudah pernah belajar bahasa Arab dan membaca Al Qur’an ketika masih kecil. Dirumahnya, terdapat perpustakaan pribadi yang besar dan terdapat beberapa surat kabar, bahkan ada beberapa diantaranya merupakan terbitan orang katholik atau orang non muslim lainya.
Dari sini, Gus Dur kecil kaya akan khasanah pengetahuan dan luas akan cakrawala berpikirnya, dan ini adalah cita-cita dari sang ayah.
Ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan, tahun 1953, ketika dia berumur 12 tahun. Setahun kemudian dia lulus sekolah dasar untuk kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), karena perasaan sedih saat ditinggal sang ayah masih terasa, ia sempat mengulang pada saat kelas satu, namun sebenarnya dia pandai, namun pada saat yang sama dia cenderung malas-malasan. Waktunya dihabiskan untuk mambaca buku dan menonton sepak bola, karena dirasa pelajaran di sekolah kurang menantang.
Setelah menamatkan di SMEP, tahun 1957, Gus Dur mengikuti pelajaran pesantren penuh di pesantren Tegalrejo, Magelang yang terletak di sebelah utara kota Yogyakarta yang diasuh Kiai Khudori. Pada saat yang sama dia juga belajar paro waktu di pesantren Denanyar Jombang yang di asuh oleh kakeknya sendiri, Kiai Bisri Syamsuri. Gus Dur hanya butuh waktu dua tahun untuk menyelesaikan pelajaranya, dua tahun lebih cepat dari yang semestinya, bahkan sebagian besar waktunya dihabiskan diluar kelas untuk membaca buku-buku Barat.
Ketika tinggal di Yogyakarta, dia mulai menyukai film secara serius. Meski demikian, sebagai seorang remaja yang sangat menggandrungi film, apresiasi Gus dur terhadap film jauh lebih serius daripada yang ditunjukkan oleh teman sebayanya. Di Yogyakarta Gus Dur juga mulai menyukai wayang kulit yang merupakan pertunjukan wayang tradisional. Di kota inilah dia juga banyak menghabiskan waktu untuk membaca karya sastra, termasuk cerita-cerita silat yang menceritakan pendekar-pendekar silat Cina yang kaya akan falsafah itu.
Pada tahun 1959, Gus Dur pindah ke Jombang untuk belajar secara penuh di pesatren Tambak beras di bawah asuhan Kiai Wahab Chasbullah. Ia belajar sampai tahun1963, pada saat bersamaan dia selalu menjalin komunikasi dengan Kiai Bisri Syamsuri. Pada tahun yang sama, dia melanjutkan studinya ke Universitas Al Azhar Kairo, Mesir karena mendapatkan beasiswa dari Departemen Agama. Saat itu usianya 23 tahun. Di sana ia menimba ilmu dengan mengambil spesialisasi bidang syariah yang dilaluinya selama tujuh tahun.
 Namun karena terlalu aktif  berorganisasi, ia tidak berhasil menyelesaikan kuliah. Dari Kairo ia pindah ke Baghdad, Irak, dengan mengambil spesialisasi sastra dan ilmu humoris. Di sinilah Gus Dur berkenalan dengan pemikiran tokoh-tokoh seperti Emile Durkheim.
           II.  Pendidikan Islam menurut KH. Abdurrahman Wahid
    Dalam  masyarakat  ditemukan  berbagai  individu  atau  kelompok  yang  berasal dari  budaya  berbeda,  demikian  pula  dalam  pendidikan,  diversitas  tersebut  tidak  bisa dielakkan.  Diversitas  budaya  itu  bisa  ditemukan  di  kalangan  peserta  didik  maupun  para guru  yang  terlibat secara  langsung  atau  tidak-  dalam  satu  proses  pendidikan.  Diversitas itu  juga  bisa  ditemukan  melalui  pengkayaan  budaya-budaya  lain yang ada  dan berkembang  dalam  konstelasi  budaya,  lokal,  nasional  dan  global. Diversitas  budaya  ini  akan mungkin  tercapai  dalam  pendidikan  jika  pendidikan itu sendiri  mengakui  keragaman yang  ada,  bersikap  terbuka (openess) dan  memberi  ruang  kepada setiap  perbedaan  yang ada untuk terlibat dalam satu proses pendidikan.
Dalam  pelaksanaannya,  Banks  menjelaskan  lima  dimensi  yang  harus  ada  yaitu, pertama, adanya  integrasi pendidikan  dalam  kurikulum (content  integration) yang didalamnya  melibatkan keragaman dalam satu  kultur pendidikan  yang  tujuan  utamanya adalah  menghapus  prasangka. Kedua,  konstruksi  ilmu  pengetahuan  (knowledge construction)  yang  diwujudkan  dengan  mengetahui dan memahami secara komperhensif keragaman yang  ada. Ketiga,  pengurangan  prasangka (prejudice  reduction) yang lahir dari interaksi antar keragaman dalam  kultur  pendidikan. Keempat, pedagogik  kesetaraan manusia  (equity  pedagogy) yang  memberi  ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap elemen yang  beragam.  Kelima,  pemberdayaan  kebudayaan sekolah (empowering school  culture). Hal yang kelima  ini adalah  tujuan dari pendidikan  multikultur yaitu  agar sekolah  menjadi  elemen  pengentas  sosial  (transformasi  sosial)  dari  struktur  masyarakat yang timpang  kepada struktur yang berkeadilan[3][3].
Dalam sebuah dialog tentang pendidikan Islam, berlangsung di Beirut (Lebanon) tanggal 13-14 Desember 2002 yang diselenggarakan oleh Konrad Adenauer Stiftung, ternyata disepakati adanya berbagai corak pendidikan agama, hal ini juga berlaku untuk pendidikan Islam. Walaupun ada beberapa orang yang terus terang mengakui, maupun yang menganggap pendidikan Islam yang benar haruslah mengajarkan ajaran formal tentang Islam. Diskusi tentang mewujudkan pendidikan Islam yang benar memang terjadi, tapi tidak ada seorang peserta-pun yang menafikan dan mengingkari peranan berbagai corak pendidikan Islam yang telah ada.[4][4].
Penyelenggaraan pendidikan Islam di negeri manapun, tidak hanya di sampaikan dalam ajaran-ajaran formal Islam di sekolah-sekolah agama/madrasah belaka, melainkan juga melalui sekolah-sekolah non-agama yang bergerak diseluruh penjuru dunia. Demikian juga, semangat menjalankan ajaran Islam, datangnya lebih banyak dari komunikasi di luar sekolah, antara berbagai komponen masyarakat Islam.

 Hal lain yang harus diterima sebagai kenyataan hidup kaum muslimin di mana-mana, adalah respon umat Islam terhadap tantangan modernisasi, seperti pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup dan sebagainya, adalah respon yang tak kalah bermanfaatnya bagi pendidikan Islam, yang perlu kita renungkan secara mendalam.

Pendidikan Islam, tentu saja harus sanggup meluruskan responsi terhadap tantangan modernisasi itu, namun kesadaran kepada hal itu justru belum ada dalam pendidikan Islam di mana-mana. Hal inilah yang merisaukan hati Gus Dur, karena ujungnya adalah diperlukan jawaban yang benar atas pernyataan berikut: Bagaimanakah caranya membuat kesadaran struktural sebagai bagian natural dari perkembangan pendidikan Islam? Dengan ungkapan lain, kita harus menyimak perkembangan pendidikan Islam di berbagai tempat, dan membuat peta yang jelas tentang konfigurasi pendidikan Islam itu sendiri. Ini merupakan pekerjaan rumah, yang mau tak mau harus ditangani dengan baik.

Jelas dari uraian diatas, pendidikan Islam memiliki begitu banyak model pengajaran baik yang berupa pendidikan sekolah, maupun pendidikan non-formal seperti pengajian, arisan dan sebagainya. Ketidakmampuan memahami kenyataan keberagaman  ini, yaitu hanya melihat lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah di tanah air sebagai sebuah institusi pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan kita tentang pendidikan Islam itu sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan satu sisi belaka dari pendidikan Islam, dan melupakan sisi non-formal dari pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja menjadi berat tugas para perencana pendidikan Islam, kenyataan ini menunjukkan di sinilah terletak lokasi perjuangan pendidikan Islam.

Senada,dengan apa yang disampaikan oleh Gus Dur, banyak pemikir yang menyampaikan hal yang sama, diantaranya adalah Kamrani Buseri, menurutnya,  pada dasarnya pendidikan Islam adalah upaya untuk mencapai kemajuan perkembangan bagi individu peserta didik. Dalam Islam yang disebut kemajuan itu adalah mencakup kemajuan fisik material dan kemajuan mental spritual yang keduanya ditujukan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat[5][5].

Oleh karena itu. pendidikan Islam harus menghasilkan manusia yang beriman, berpengetahuan dan berketerampilan dengan senantiasa memodifikasi diri agar sesuai dan sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

 Hanya pendidikan yang mengemban tugas ganda secara proporsional yang mampu mewujudkan kejayaan peradaban secara hakiki. Keimanan menjadi kendali bagi moral seseorang dalam aktivitas pemanfaatan pengetahuan dan keterampilannya, sehingga dapat meredam keinginan-keinginan jahat. sebaliknya ia selalu mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan atau perbuatan-perbuatan bermanfaat.

Menurut Gus Dur, sistem pendidikan nasional harus diubah dengan pendidikan berbasis masyarakat. Sebab sistem pendidikan kita sekarang hanya formal. Orang tidak punya ijazah tidak dipakai, padahal banyak warga masyarakat yang tidak berijazah tapi memiliki kemampuan. Termasuk pendidikan pesantren yang sudah sekian tahun mengaji tapi tidak pernah dihargai, paparnya.[6][6].
Bukti sejarah mengatakan, di tengah pergolakan perjuangan bangsa, pesantren tetap memperlihatkan keberadaannya sebagai lembaga pendidikan yang mempersiapkan kader-kader bangsa dalam menyokong pergerakan kemerdekaan. Motor gerakan PKI di tahun 1965-1966, salah satunya adalah komponen pesantren. Kemudian, sejak 1970-an kita melihat perubahan konfigurasi kelas menengah di Indonesia, salah satu pendorong utamanya adalah kelompok santri. Sehingga sampai saat ini, di pentas nasional, kita mengenal Gus Dur, Nurcholish Madjid, Hidayat Nurwahid, Din Syamsuddin, Hasyim Muzadi, Emha Ainun Najib, Ali Yafie, Quraish Shihab dan banyak lagi tokoh lain yang merupakan lulusan dari pendidikan pesantren. Alumni pesantren yang disebutkan di atas telah menjadi pelopor bukan saja di bidang keagamaan, tetapi juga menjadi bahagian dari pembangunan bangsa di berbagai bidang[7][7]. 

Gus Dur melihat pondok pesantren dari berbagai sudut. Pondok pesantren sebagai lembaga kultural yang menggunakan simbol-simbol budaya jawa; sebagai agen pembaharuan yang memeperkenalkan gagasan pembangunan pedesaan (rural development); sebagai pusat kegiatan belajar masyarakat (centre of community learning); dan juga pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang bersandar pada silabi, yang dibawakan oleh Imam Al- Suyuti lebih dari 500 tahun-nan yang lalu, dalam Itman al-dirayah. Silabi inilah yang menjadi dasar acuan pondok pesantren tradisional selama ini, dengan pengembangan kajian Islam yang terbagi dalam 14 macam disiplin ilmu yang kita kenal sekarang ini, dari nahwu/ tata bahasa arab klasik hingga tafsir al-Qur’an dan teks hadist nabi, semuanya dipelajari dalam lingkungan pondok pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam. Melalui pondok pesantren juga nilai ke-Islam-an ditularkan dari generasi ke generasi.

Sudah tentu, cara penularan seperti itu merupakan titik sambung pengetahuan tentang Islam secara rinci, dari generasi ke generasi. Di satu sisi, ajaran-ajaran formal Islam dipertahankan sebagai sebuah keharusan yang diterima kaum muslimin diberbagai penjuru dunia. Tetapi, disini juga terdapat benih-benih perubahan, yang membedakan antara kaum muslimin di sebuah kawasan dengan kaum muslimin lainnya dari kawasan yang lain pula. Tentang perbedaan antara kaum muslimin di suatu kawasan ini, Gus Dur pernah mengajukan sebuah makalah kepada Universitas PBB di Tokyo pada tahun 1980-an. Tentang perlu adanya study kawasan tentang Islam di lingkungan Afrika Hitam, budaya Afrika Utara dan negeri-negeri Arab, budaya Turki-Persia-Afghan, budaya Islam di Asia Selatan, budaya Islam di Asia Tenggara dan budaya minoritas  muslim di kawasan-kawasan industri maju. Sudah tentu, kajian kawasan (area study's) ini diteliti bersamaan dengan kajian Islam klasik (classiccal Islamic study’s)[8][8].
          III. Kekuasaan dan Ekonomi Politik Indonesia
     Sejak Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 kita sudah berada dalam alam kemerdekaan. Tapi kemerdekaan yang dicapai baru hanya di bidang politik. Hal itu terlihat pada kekuasaan negara yang berhasil kita pegang. Bung Karno dengan Pancasilanya berhasil merebut kekuasaan pemerintahan. Ia dan kawan-kawannya, seperti Bung Hatta, Mr. Sartono, dr. Radjiman, dr. Tjipto Mangunkusumo dan seterusnya, pada umumnya adalah para bangsawan dari berbagai tingkatan yang berhasil merebut kekuasaan negara dari tangan penjajah. Jika pada saat itu ada tokoh politik yang mengajukan gagasan kredit murah untuk kepentingan usaha kecil dan menengah, tentu pembawa usul itu akan ditertawakan orang. Dalam pikiran mereka, dunia ekonomi hanya akan mengalami kemajuan jika dikuasai oleh teman-teman mereka sendiri, para pengusaha dari kalangan atas. Inilah yang mereka anggap sebagai kekuatan ekonomi nasional.  
    Mungkin dalam lingkup ini termasuk ayah penulis sendiri, yaitu dari kalangan petani bertanah (land owners). Kenyataan ini berjalan terus sampai demokrasi terpimpin digantikan oleh Orde Baru yang dibawa oleh Mayor Jendral TNI Soeharto. Secara efektif Orde Baru meneruskan orientasi pembangunan nasional yang hanya mementingkan kalangan atas saja. Demikian pula dengan apa yang dinamakan masa Reformasi pada tahun 1998, yang dianggap membawa perubahan cukup besar.                
    Namun tetap saja orientasi pembangunan kita, yang masih ditentukan oleh kepentingan kalangan atas, itu baru mengacu pada pertumbuhan (growth). Pembangunan ekonomi kita lalu menuju kepada penjualan barang (ekspor) secara besar-besaran. Karena itulah pemerintah memberikan kompensasi dalam bentuk impor barang secara besar-besaran pula. Dengan demikian, jumlah barang yang diimpor harus dibiaya oleh kredit luar negeri yang besar pula sehingga hutang nasional kita terus menerus ditambah. Ini membuat ketergantungan kita kepada negara-negara lain membengkak. Orde Baru digantikan oleh apa yang dinamakan Orde Reformasi, yang segera saja direbut oleh para teknokrat. Sebenarnya, mereka tidak lain adalah kaum profesional yang menganut faham pertumbuhan ekonomi di atas. Tercapailah pertumbuhan besar-besaran bagi negeri kita, yang tidak berumur lama. Segera saja perekonomian nasional kita dihadapkan kepada krisis berkepanjangan yang belum selesai hingga saat ini. Salah satu penyebabnya, karena tidak ada perubahan berarti dalam pandangan para pimpinan parpol dalam pembangunan nasional dan kepemimpinan negara . Tidak ada seorangpun yang berpikir tentang bagaimana menyelesaikan krisis eknomi yang berkepanjangan itu, dengan segenap konsekuensinya. Padahal, kita harus mempunyai arah yang jelas dalam orientasi pembangunan kita. Kenyataan memaksa kita untuk mengikutnya sampai jarak tertentu. Juga sulit untuk memperhitungkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh globalisasi ekonomi dunia, yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Walaupun prinsip pembangunan ekonomi nasional kita, mengharuskan adanya kemerdekaan kebebasan berniaga dalam bentuk persaingan bebas (free competition). Karena itu, kita harus memberikanMengenal Lebih Dekat Pemikiran Gus Dur 29
    kemerdekaan untuk bersaing secara bebas bagi perusahaan-perusahaan asing di negeri kita. Tetapi, disamping itu harus diingat bahwa sisi lain dari dunia usaha kita justru menginginkan adanya perlindungan pemerintah atas usaha kecil dan menengah. Tentu saja, hal itu terkait dengan pasal 33 UUD 1945 yang menyebutkan perlu diberikan perhatian khusus untuk pemenuhan kebutuhan pokok dari rakyat. Hal ini pernah dialami Andrew Jackson, yang menjadi Presiden AS pada tahun-tahun1830-an. Dalam kebijakan Jackson, UUD A.S menetapkan bahwa RAPBN (budget) mengharuskan seorang presiden untuk membiayai pendidikan, kerja-kerja sosial, kesehatan dan hal-hal sejenis untuk rakyat. Oleh sebab itulah, dia mengangkat seorang gubernur bagi American Federal Reserve System (yang di negeri kita dikenal dengan nama Bank Sentral alias Bank Indonesia).
     Dengan pengangkatan itu, Jackson tidak menyalahi liberalisme ekonomi yang mengharuskan adanya persaingan bebas dalam pengaturan ekonomi. Pelajaran inilah yang sangat penting untuk kita perhatikan dengan serius. Namun dalam menyelenggarakan perekonomian nasional ini, di samping perlunya kemakmuran negara kita sendiri, kita juga harus maju bersama dengan negara-negara dunia berkembang (developing countries) lainnya. Sewaktu menjabat sebagai presiden, Gus Dur didatangi utusan Presiden Bill Clinton, yaitu Winston Lord, Pembantu Menlu AS urusan Asia dan Pacific .
       Ia bertanya kepada Gus Dur adakah kerjasama ekonomi yang diusulkan dengan membentuk Poros Indonesia- Republik Rakyat Tiongkok dan India, dimaksudkan untuk mengeliminir Amerika Serikat sebagai kekuatan ekonomi? Gus Dur menjawab tidak, melainkan untuk mengembangkan kemampuan ketiga negeri tersebut untuk bersaing dengan A.S. Dua hari kemudian Gedung Putih mengeluarkan pernyataan, bahwa A.S mendukung gagasan kerja sama ekonomi itu. Jadi agar segala sesuatu menjadi terbuka bagi semua pihak, perlu ada kejelasan dari kita sendiri. Jelaslah, dari apa yang disebutkan di atas bahwa dalam pemikiran Gus Dur, hubungan antara ekonomi politik dan kekuasaan sangatlah besar. Nah, kesalahan kita selama ini adalah tidak jelasnya orientasi pembangunan ekonomi nasional kita sendiri. Seharusnya, kita juga menggunakan orientasi kehidupan yang dibawakan oleh agama, yaitu pentingnya akhlak mulia dan keadilan dalam kehidupan kita. Masalah yang sederhana tetapi juga sangat rumit, bukan?
            IV. Politik lawan budaya dalam Islam
Islam di banyak negri menampilkan wajah politik lebih banyak dari pada wajah budayanya. Karena itu, penampilan Islam sebagai wadah kajian senantiasa berurusan dengan negara dan bukannya dengan bangsa. Ini adalah kenyataan sejarah yang tidak dapat dibantah oleh siapapun. Bahkan gerakan budaya (dalam hal ini pendidikan) yang bernama al-Ikhwan al-Muslimun, sebelum Perang Dunia ke-2 di Mesir yang dicetuskan oleh Hassan al-Banna (dihukum gantung karena gerakan itu), dicuri orang dan pada ujungnya menjadi gerakan politik, adalah sebuah bukti dari kuatnya kecendrungan tersebut. Dewasa ini gerakan tersebut sudah resmi menjadi gerakan politik, seperti terjadi diJordania dan Saudi Arabia. Gamal al-Banna, adik terkecil dari Hasan mencoba membuktikan melalui serangkaian tulisan, bahwa organisasi tersebut adalah organisasi budaya. Tetapi sejauh ini, Gamal belum dapat menghilangkan gambaran bahwa perkumpulan tersebut sebagai sesuatu yang politis. Sebenarnya, pandangan mayoritas kaum muslimin di seluruh dunia justru tidak menghendaki gagasan Islam politik. Kebanyakan mereka melihat Islam sebagai sesuatu yang bersifat budaya/kultural.
Wacana ini dibuka oleh Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan tahun 1926. Pada tahun 1936 dalam muktamarnya di Banjarmasin (BorneoSelatan) dengan dihadiri sekitar enam ribu ulama, NU membuat dua keputusan yang sangat penting bagi masa depan Bangsa Indonesia. Para ulama NU dihadapkan pada pertanyaan: “wajibkah kaum muslimin di Hindia Belanda, mempertahankan kawasan tersebut yang dikuasai non-muslim?” Jawaban muktamar itu adalah: “kawasan itu wajib dipertahankan.” Ini diperkuat dengan refrensi dari Bughyah al-Mustarsyidin. Pertanyaan berikut adalah: “untuk melaksanakan syariat Islam, wajibkah didirikan sebuah Negara Islam?” Keputusan muktamar itu menyatakan: “tidak wajib.”Kedua pendapat di atas sangat dipengaruhi kemunculannya oleh dua orang yang masih terikat dalam hubungan persaudaraan, yaitu H.O.S Tjokroaminoto dari kota Surabaya dan KH. M. Hasyim Asyari. Mereka masih bersaudara, walaupun yang satu tokoh Syarikat Islam (belakangan berkembang menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia/ PSII), sedangkan yang satunya lagi adalah salah seorang pendiri NU.
 Bahkan ia kemudian diangkat menjadi Rais Akbar NU dengan temannya sesama santri KH. A. Mahfudz Dimyati dari Termas (Pacitan) dan Wakil Rais Akbar KH. Faqih Maskumambang dari daerah Dukun (Gresik). Kegigihan KH. M. Hasyim Asyari adalah membuat terobosan dalam pemikiran kalangan tradisional di antara gerakan Islam yang berkembang dikawasan Hindia-Belanda. H.O.S. Cokroaminoto dan KH. Hasyim Asyari masih merupakan keluarga, karena keduanya berasal dari keluarga keturunan Ki Ageng Basariah dari Sewulan ( +10 km selatan Madiun). Di lingkungan inilah lahir beberapa orang pemimpin gerakan Islam dinegeri kita, seperti KH. A. Kahar Mudzakir dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
KH. Wahid Hasjim dari NU di PP Tebu Ireng Jombang, Alm. KH. A. Wahab Chasbullah dan Abdul Munir Mulkan dari kalangan Muhammadiyah dewasa ini, dan lain-lain. Pada intinya, mereka selalu menyuarakan gerakan Islam sebagai gerakan budaya/ kultural.Inilah yang membedakan mayoritas kaum muslimin di Indonesia, dari gerakan Islam dinegeri-negeri lain. Tokoh-tokoh besar gerakan Islam di Indonesia masa lampau pun mengikuti pola budaya ini.
Oleh sebab itu suara yang dibawakan NU lalu menjadi sesuatu yang sangat longgar penerapannya, karena selama ini banyak kalangan gerakan Islam dibanyak negara seluruh dunia berwatak politis. Ditambah lagi mereka memiliki/menguasai media Islam, dengan sendirinya pendapat mereka yang bersifat politis yang dianggap mewakili pandangan Islam di negeri ini. Dengan demikian wacana gerakan Islam lebih banyak terlihat sebagai wacana politis. Pendapat NU lalu diperlakukan sebagai pandangan kelompok minoritas. Ini terjadi karena misspersepsi/ pandangan yang dangkal sejumlah pengamat bahwa mayoritas gerakan Islam di Indonesia bersifat politis.
Penyatuan antara negara dan Islam sebagai agama justru berkembang dari luar gerakan Islam negeri kita. Karena itulah kita tidak usah heran menyaksikan ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, merumuskan syariat Islam dalam kehidupan bernegara, seperti tertuang dalam Piagam Jakarta.

Baru setelah seorang beragama Kristen, yaitu A.A. Maramis dari Sulawesi Utara menyuarakan keberatannya, lalu Muh. Hatta keesokan harinya memimpin siding perwakilan berbagai gerakan Islam (Ki Bagus Hadikusuma dan KH. A. Kahar Mudzakirdari Muhammadiyah, A. Rahman Baswedan dari Partai Arab Indonesia, AbikusnoTjokrosuyoso dari PSII, Ahmad Subarjo, KH. A. Wahid Hasjim dari NU dan H. Agus Salim sebagai tokoh independen) membuang tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut. Hampir seluruh dunia memandang gerakan Islam bersifat politik sebagai gerakan fundamentalis/radikal. Pandangan itu lalu menganggap pandangan budaya dari NUsebagai moderat.
Penamaan serampangan seperti inilah yang lalu menciptakan kesan salah tentang gerakan Islam di seluruh dunia. Padahal kita juga melihat berbagai gerakan Islam seperti al-Qaidah yang dipimpin oleh Osama Bin Laden dari Afghanistan (bukankah lebih tepat Saudi Arabia?) dengan rasa was-was karena militasinya yang sangat tinggi. Juga lahirnya pendapat berbagai gerakan Islam, seperti Hizbut Tahrir dinegeri kita, akan perlunya sistem pemerintahan berupa kekhalifahan, yang jelas-jelas merupakan pandangan politik yang bertentangan dengan UUD kita. Sulit rasanya untuk membenarkan gerakan-gerakan tersebut.
Tetapi misteri seperti inilah yang membuat buku yang ada di tangan pembaca ini, menjadi sesuatu yang menarik dan perlu ada. Jika beberapa waktu yang lalu Majalah Tempo bermotto “enak dibaca dan perlu”, bukankah pembahasan tentang perlunya Islam budaya dan Islam politik kita lakukan, juga demikian?

























BAB III
PENUTUP


               Demikian makalah ini kami buat untuk tugas mata kuliah Pemikiran Pendidikan Islam, kurang dan lebihnya kami mohon maaf  sebesar-besarnya karena kami hanya manusia biasa yang tidak luput dari salah dan khilaf, saran dari pembaca dan pendegar kami tunggu untuk memjadikan makalah ini jadi lebih baik dan sempurna dari yang sesudahnya.
               Cukup sekian dari kami,



waullahuafiq illa aqwamitoriq ws.wb…









                                                                                            TTD


Penyusun Makalah












DAFTAR PUSTAKA

1.      Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, LkiS, Yogyakarta, 2007. h. 181-182
2.      Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren pendidikan Alternatif Masa Depan, Gema Insani Press, Jakarta, 1997. h. 87
3.      Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta, LkiS, 2006, h. 25
4.      James  A.  Banks.  “Multicultural  Education:  Historical  Development,  Dimensions,  and Practice” dalam James A. Banks dan Cherry A. McGee, San Francisco: Jossey-Bass, 2001. hlm. 3 -24
5.      Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006, h.223



[1][1] Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta, LkiS, 2006, h. 25
[2][2] Ibid h.35
[3][3] James  A.  Banks.  “Multicultural  Education:  Historical  Development,  Dimensions,  and Practice” dalam James A. Banks dan Cherry A. McGee, San Francisco: Jossey-Bass, 2001. hlm. 3 -24
[4][4]  Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006, h.223

[5][5] Kamrani Buseri.. Antologi Pendidikan Islam dan Dakujah UII Press, Yogyakarta. . 2003.h.123

[6][6]  kedaulatan-rakyat.com.tanggal 26 oktober 2002
[7][7] Ismail S. Wekke, dalam Majalah Independensia, edisi Juli 2007

[8][8] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006, h.224

1 komentar: